art education
In essence, aesthetics is philosophy of the beautiful, the science of beauty and taste”
Rabu, 08 Maret 2017
art education: Seni Lukis Kaligrafi
art education: Seni Lukis Kaligrafi: Seni Lukis Kaligrafi Kaligrafi merupakan salah satu jenis karya seni rupa yang menekankan keindahan yang terdapat pada bentuk-bentuk hur...
Seni Lukis Kaligrafi
Seni Lukis Kaligrafi
Kaligrafi merupakan salah satu jenis karya seni rupa yang menekankan keindahan yang terdapat pada bentuk-bentuk huruf yang telah dimodifikasi atau digayakan sehingga mempunyai nilai estetika. Keindahan bentuk ini mempunyai pengertian yang umum, artinya bentuk huruf tersebut tidak hanya berlaku untuk huruf-huruf tertentu atau asal dari jenis huruf tertentu. Salah satu contoh, misalnya kaligrafi tidak hanya berlaku untuk bentuk atau jenis huruf Arab (Hijaiyyah) saja, tetapi dapat juga berlaku untuk jenis-jenis huruf yang lain. Sehingga kata kaligrafi berlaku untuk umum, keindahan hurufnya bersifat umum, universal dan global. Kaligrafi tidak hanya untuk mengungkapkan secara visual ayat atau surat-surat yang ada di Al Quran dan Al Hadits saja, tetapi juga bisa untuk mengungkapkan kalimat-kalimat sastra yang berbentuk huruf Latin, huruf China, huruf Jepang, huruf India, huruf Sansekerta maupun huruf Jawa. Pengertian masyarakat umum memang mempunyai pandangan dan pengertian yang kurang tepat, yang mengartikan bahwa kaligrafi adalah modifikasi keindahan pada bentuk-bentuk huruf Arab saja. Walaupun hal itu juga tidak dapat dipungkiri lagi karena yang berkembang pesat di wilayah kita (Indonesia) adalah banyaknya kreasi-kreasi kaligrafi yang ada merupakan bentuk keindahan huruf Arab. Hal ini memang sangat erat kaitannya dengan mayoritas seniman kaligrafi yang ada di Indonesia kebanyakan hanya mengembangkan kaligrafi Arabic. Memang tidak dapat dipungkiri seniman berkarya juga terikat dengan penikmat seni yang ada di suatu wilayah. Penikmat kaligrafi Indonesia karena kebanyakan kaum muslimin, senimanpun menciptakanya disesuaikan dengan keadaan tersebut. Kalau kita mau melihat lebih luas, sebenarnya banyak juga ditemukan keindahan bentuk huruf ini yang berbentuk huruf selain huruf Arab. Keindahan bentuk huruf Jawa, sebelum pada tahun 70 an masih sering ditemukan di wilayah Jawa. Di pedesaan banyak pula anak-anak muda dan orang dewasa berkarya memodifikasi/menggayakan huruf Jawa sedemikian indahnya pada era sebelum tahun 70 an. Contoh yang pernah penulis lihat adalah di daerah Kunden Langenharjo Kendal pada masa lalu, yang sekarang sudah mulai jarang ditemukan lagi atau mungkin malah sudah tak ada lagi karena generasi sekarang banyak yang tidak mengenal huruf Jawa. Tapi, Alhamdulillah pemerintah sekarang sudah mulai menyadari pentingnya bahasa daerah, dengan memasukkan pelajaran bahasa daerah dalam kurikulum di SD, SMP maupun SMA. Hal itu hanyalah salah satu contoh saja bahwa kaligrafi bukanlah khusus untuk huruf Arab. Dalam perkembangannya kaligrafi dapat dipisahkan menjadi beberapa jenis kaligrafi. Kaligrafi tersebut antara lain, Kaligrafi Tradisional, Kaligrafi Klasik, Kaligrafi Modern, Kaligrafi Ekspresif dan Kaligrafi Kontemporer. Semua jenis kaligrafi tersebut mempunyai kelebihan dan keunikan tersendiri tergantung dari jenisnya. Kekhasan yang sama pada seni kaligrafi adalah kreatifitas seniman di dalam memvisualisasikan bentuk karya ciptanya. Ada yang mempunyai kecenderungan kretifitas pada objek utamanya saja, ada pula hurufnya masih manual tetapi dipadukan latar belakangnya yang dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga kreatifitasnya lebih diutamakan pada backgroundnya, adapula yang keduanya dipadukan artinya baik huruf maupun latar belakangnya digayakan sedemikian rupa, sehingga daya cipta bentuk kaligrafi betul-betul dimaksimalkan. Semuanya memang tergantung dari pencipta karya tersebut, lebih fokus dan lebih enjoy yang mana atau lebih cocok yang mana. Atau mungkin tergantung yang diinginkan oleh nilai pasar (tergantung dari nilai fungsinya). Fungsi kaligrafi tersebut sebagai seni murni (fine art) atau seni terapan (applied art).
Kaligrafi merupakan
salah satu jenis karya seni rupa yang menekankan keindahan yang terdapat
pada bentuk-bentuk huruf yang telah dimodifikasi atau digayakan
sehingga mempunyai nilai estetika. Keindahan bentuk ini mempunyai
pengertian yang umum, artinya bentuk huruf tersebut tidak hanya berlaku
untuk huruf-huruf tertentu atau asal dari jenis huruf tertentu. Salah
satu contoh, misalnya kaligrafi tidak hanya berlaku untuk bentuk atau
jenis huruf Arab (Hijaiyyah) saja, tetapi dapat juga berlaku untuk
jenis-jenis huruf yang lain. Sehingga kata kaligrafi berlaku untuk umum,
keindahan hurufnya bersifat umum, universal dan global. Kaligrafi tidak
hanya untuk mengungkapkan secara visual ayat atau surat-surat yang ada
di Al Quran dan Al Hadits saja, tetapi juga bisa untuk mengungkapkan
kalimat-kalimat sastra yang berbentuk huruf Latin, huruf China, huruf
Jepang, huruf India, huruf Sansekerta maupun huruf Jawa. Pengertian
masyarakat umum memang mempunyai pandangan dan pengertian yang kurang
tepat, yang mengartikan bahwa kaligrafi adalah modifikasi keindahan pada
bentuk-bentuk huruf Arab saja. Walaupun hal itu juga tidak dapat
dipungkiri lagi karena yang berkembang pesat di wilayah kita (Indonesia)
adalah banyaknya kreasi-kreasi kaligrafi yang ada merupakan bentuk
keindahan huruf Arab. Hal ini memang sangat erat kaitannya dengan
mayoritas seniman kaligrafi yang ada di Indonesia kebanyakan hanya
mengembangkan kaligrafi Arabic. Memang tidak dapat dipungkiri seniman
berkarya juga terikat dengan penikmat seni yang ada di suatu wilayah.
Penikmat kaligrafi Indonesia karena kebanyakan kaum muslimin, senimanpun
menciptakanya disesuaikan dengan keadaan tersebut. Kalau kita mau
melihat lebih luas, sebenarnya banyak juga ditemukan keindahan bentuk
huruf ini yang berbentuk huruf selain huruf Arab. Keindahan bentuk huruf
Jawa, sebelum pada tahun 70 an masih sering ditemukan di wilayah Jawa.
Di pedesaan banyak pula anak-anak muda dan orang dewasa berkarya
memodifikasi/menggayakan huruf Jawa sedemikian indahnya pada era sebelum
tahun 70 an. Contoh yang pernah penulis lihat adalah di daerah Kunden
Langenharjo Kendal pada masa lalu, yang sekarang sudah mulai jarang
ditemukan lagi atau mungkin malah sudah tak ada lagi karena generasi
sekarang banyak yang tidak mengenal huruf Jawa. Tapi, Alhamdulillah
pemerintah sekarang sudah mulai menyadari pentingnya bahasa daerah,
dengan memasukkan pelajaran bahasa daerah dalam kurikulum di SD, SMP
maupun SMA. Hal itu hanyalah salah satu contoh saja bahwa kaligrafi
bukanlah khusus untuk huruf Arab. Dalam perkembangannya kaligrafi dapat
dipisahkan menjadi beberapa jenis kaligrafi. Kaligrafi tersebut antara
lain, Kaligrafi Tradisional, Kaligrafi Klasik, Kaligrafi Modern,
Kaligrafi Ekspresif dan Kaligrafi Kontemporer. Semua jenis kaligrafi
tersebut mempunyai kelebihan dan keunikan tersendiri tergantung dari
jenisnya. Kekhasan yang sama pada seni kaligrafi adalah kreatifitas
seniman di dalam memvisualisasikan bentuk karya ciptanya. Ada yang
mempunyai kecenderungan kretifitas pada objek utamanya saja, ada pula
hurufnya masih manual tetapi dipadukan latar belakangnya yang
dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga kreatifitasnya lebih diutamakan
pada backgroundnya, adapula yang keduanya dipadukan artinya baik huruf
maupun latar belakangnya digayakan sedemikian rupa, sehingga daya cipta
bentuk kaligrafi betul-betul dimaksimalkan. Semuanya memang tergantung
dari pencipta karya tersebut, lebih fokus dan lebih enjoy yang mana atau
lebih cocok yang mana. Atau mungkin tergantung yang diinginkan oleh
nilai pasar (tergantung dari nilai fungsinya). Fungsi kaligrafi tersebut
sebagai seni murni (fine art) atau seni terapan (applied art).
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Rabu, 18 Maret 2015
kritik seni
Keindahan selalu berhubungan dengan seni tetapi seni tidak selalu hanya
menampilkan tentang keindahan walaupun dalam prosesnya ada tahap-tahap yang
bisa disebut sebuah keindahan. Seorang seniman kadang tidak bisa menyampaikan
hasil karya yang indah tetapi dalam pembuatan karya seni selalu ada pesan yang
ingin dia sampaikan dan dalam proses pembuatan karya seninya mungkin dia sudah
melewati pengalaman keindahan. Sebagai contoh dia membuat karya seni dengan
pesan “betapa sedihnya perpisahan karena kematian”. Di sini kita sepakat bahwa
perpisahan karena kematian bukanlah sesuatu yang indah, tetapi dengan tehnik
dan kemampuan pengelolaan pengalaman hidupnya maka dia bisa membuat atau
menyampaikan pesan itu menjadi sesuatu yang indah karena dia mampu mengelola
pengalaman yang sudah dia lalui. Jadi intinya dalam seni harus ada suatu
keindahan meskipun tidak semua keindahan bisa dikatakan seni.
1. Tanpa mengesampingkan teori seni yang lain karena menurut penulis teori-teori seni saling melengkapai tetapi teori seni yang paling memuaskan adalah “teori pengungkapan”.
Benedetto Groce dengan teorinya yang mengatakan bahwa Seni adalah pengungkapan dari kesan-kesan. Ekspresi sama dengan intuisi, dan intuisi menghasilkan imaji-imaji dari realitas. Karena mengungkapan sama dengan memiliki imaji, maka intuisi menjadi suatu unitas yang tanpa membedakan antara persepsi dari realitas dan persepsi dari image.
Dari teori ini pertama sudah menjelaskan bahwa sebelum terjadi proses penciptaan karya seni maka harus didahului dulu dengan adanya tahap pengalaman keindahan. Tanpa tahap ini tidak akan ada kesan-kesan yang nanti dalam proses selanjutnya harus diungkapkan dengan baik. Proses pengungkapan ini terkadang mengesampingkan pengtahuan konseptual tetapi cenderung dipengaruhi pengetahuan imajinasi/intuitif. Sehingga dengan kata seni lebih besar dipengaruhi oleh kejiwaan manusia.
Teori kedua dari Leo Tolstoy yang mengatakan seni adalah kegiatan manusia yang sadar dengan perantara dengan perantara tanda-tanda lahiriah tertentu mengungkakan perasaan-perasaan yang telah dihayatinya kepada orang lain agar terjangkit perasaan-perasaaan itu dan juga mengalaminya.
Di sini jelas diungkapkan bahwa kegiatan manusia harus dilakukan secara sadar karena tidak mungkin seseorang yang tidak mampu menguasai dengan baik kesadarannya bisa mengelola pengalaman keindahannya menjadi suatu ungkapan seni. Dengan kesadaran yang baik pula seseorang bisa menemukan/memutuskan tanda-tanda seperti apa yang harus dipakai untuk mengungkapakan pengalaman yang telah dihayatinya agar orang lain bisa mendapatkan pengalaman keindahan yang sama ketika menikmati tanda-tanda tersebut.
Dari kedua filsuf ini yang semua teorinya mengacu pada pengungkapan sudah bisa memenuhi kaidah-kaidah yang ada dalam seni meskipun perlu digaris bawahi bahwa tidak semua hasil pengungkapan adalah seni. Selain itu teori ini bisa mengakomodir kaidah-kaidah seni dibandingkan dengan teori yang lain, bahkan teori ini bisa mencakup juga perspektif bahwa seni adalah mimesis (Plato).
1. Tanpa mengesampingkan teori seni yang lain karena menurut penulis teori-teori seni saling melengkapai tetapi teori seni yang paling memuaskan adalah “teori pengungkapan”.
Benedetto Groce dengan teorinya yang mengatakan bahwa Seni adalah pengungkapan dari kesan-kesan. Ekspresi sama dengan intuisi, dan intuisi menghasilkan imaji-imaji dari realitas. Karena mengungkapan sama dengan memiliki imaji, maka intuisi menjadi suatu unitas yang tanpa membedakan antara persepsi dari realitas dan persepsi dari image.
Dari teori ini pertama sudah menjelaskan bahwa sebelum terjadi proses penciptaan karya seni maka harus didahului dulu dengan adanya tahap pengalaman keindahan. Tanpa tahap ini tidak akan ada kesan-kesan yang nanti dalam proses selanjutnya harus diungkapkan dengan baik. Proses pengungkapan ini terkadang mengesampingkan pengtahuan konseptual tetapi cenderung dipengaruhi pengetahuan imajinasi/intuitif. Sehingga dengan kata seni lebih besar dipengaruhi oleh kejiwaan manusia.
Teori kedua dari Leo Tolstoy yang mengatakan seni adalah kegiatan manusia yang sadar dengan perantara dengan perantara tanda-tanda lahiriah tertentu mengungkakan perasaan-perasaan yang telah dihayatinya kepada orang lain agar terjangkit perasaan-perasaaan itu dan juga mengalaminya.
Di sini jelas diungkapkan bahwa kegiatan manusia harus dilakukan secara sadar karena tidak mungkin seseorang yang tidak mampu menguasai dengan baik kesadarannya bisa mengelola pengalaman keindahannya menjadi suatu ungkapan seni. Dengan kesadaran yang baik pula seseorang bisa menemukan/memutuskan tanda-tanda seperti apa yang harus dipakai untuk mengungkapakan pengalaman yang telah dihayatinya agar orang lain bisa mendapatkan pengalaman keindahan yang sama ketika menikmati tanda-tanda tersebut.
Dari kedua filsuf ini yang semua teorinya mengacu pada pengungkapan sudah bisa memenuhi kaidah-kaidah yang ada dalam seni meskipun perlu digaris bawahi bahwa tidak semua hasil pengungkapan adalah seni. Selain itu teori ini bisa mengakomodir kaidah-kaidah seni dibandingkan dengan teori yang lain, bahkan teori ini bisa mencakup juga perspektif bahwa seni adalah mimesis (Plato).
Sabtu, 14 Maret 2015
sarung sutera (Lipa Sabbe) Kota Sengkang Kab. Wajo
Sengkang yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Wajo letaknya
kurang lebih 250 km dari Makassar Ibukota Provinsi SUlawesi Selatan sejak dulu
dikenal sebagai kota niaga karena masyarakatnya yang sangat piawai dalam
berdagang. Berbagai macam kebutuhan hidup seperti pakaian, sepatu, tas, barang
elektronik, kain dan kain sarung bahkan kebutuhan pokok lainnya konon memiliki
harga yang relatif murah jika dibandingkan di daerah lainnya. Sehingga tidak
mengherankan jika Sengkang menjadi salah satu kota dengan perputaran ekonomi
yang sangat tinggi di Sulawesi Selatan.
Disamping dikenal sebagai kota niaga, Sarung Sutera
menjadikan ibukota Kabupaten Wajo semakin akrab ditelinga dan hati orang-orang
yang pernah berkunjung ke kota ini, kelembutan dan kehalusan tenunan sarung
sutera Sengkang sudah sedemikian dikenal bahkan hingga kemancanegara.
Menengok ke masa yang lalu, aktivitas masyarakat Wajo dalam
mengelola persuteraan sudah dilakukan secara turun temurun baik diusahakan
sebagai kegiatan sampingan maupun dikelola dalam skala industri rumah tangga
bahkan sampai industri menegah.
Hampir disetiap kecamatan di daerah ini ditemukan kegiatan
persuteraan dimulai dari kegiatan proses hulu sampai ke hilir, kegiatan
pemeliharaan ulat sutera hingga proses pemintalah menjadi benang yang kemudian
ditenun menjadi selembar kain sutera.
Dalam bahasa lokal (Bugis) sutera disebut dengan
"Sabbe", dimana dalam proses pembuatan benang sutera menjadi kain
sarung sutera masyarakat pada umumnya masih menggunakan peralatan tenun
tradisional yaitu alat tenun gedogan dengan berbagai macam motif yang
diproduksi seperti motif "Balo Tettong" (bergaris atau tegak), motif
("Makkalu" (melingkar), motif "mallobang" (berkotak
kosong), motif "Balo Renni" (berkotak kecil). Selain itu ada juga
diproduksi dengan mengkombinasikan atau menyisipkan "Wennang Sau"
(lusi) timbul serta motif "Bali Are" dengan sisipan benang tambahan
yang mirip dengan kain Damas.
Melihat Potensi perkembangan sutera di Wajo, pada tahun 1965
seorang tokoh perempuan yang juga seorang bangsawan "Ranreng Tua"
Wajo yaitu Datu Hj. Muddariyah Petta Balla'sari memprakarsai dan memperkenalkan
alat tenun baru dari Thailand yang mampu memproduksi sutera asli (semacam Thai
SIlk) dalam skala besar.
Beliau juga mendatangkan seorang ahli pertenunan dari
Thailand untuk mengajarkan penggunaan alat tenun tersebut kepada masyarakat
setempat sekaligus menularkan berbagai ilmu pertenunan sehingga mampu
menghasilkan produksi sutera yang berkualitas tinggi. Berawal dari prakarsa
inilah sehingga memacu ketekunan dan membuka wawasan kreativitas masyarakat dan
pengrajin yang lain untuk mengembangkan kegiatan persuteraan di Kabupaten Wajo.
Secara
etimologi, ’sarung’ dalam kata benda dapat berarti bungkus. Sedangkan
’menyarung’ dan dalam kata sifat dapat be
rarti cara
membungkus. Kata ’sarung’ ini berasal
dari bahasa Melayu , sarong, berarti kain tenun yang cara pakainya dililitkan
di pinggang. Meskipun begitu, pada dasarnya
pengertian
sarung dapat dibedakan dengan kain panjang. Sebab sarung adal
ah tenunan
panjang yang kedua sisi kiri dan kanannya disatukan sehingga terbentuk lubang
pada bagian atas dan bawah. Maka secara garis besar, sarung sutra (atau dalam
bahasa Bugis disebut lippa sabbe’) ialah tenunan sutra yang kedua sisinya
disatukan sehingga membentuk tabung.Karakteristik sarung terletak pada corak
dan ukurannya, yakni lebar berkisar 100 sentimeter dengan panjang berkisar 220
sentimeter.
Fungsi sarung
sutera
Dahulu,
sarung dipakai oleh orang-orang yang berlayar di sekitar Semenanjung Malaka,
dekat pulau Sumatra dan Jawa. Mengingat orang-orang yang berlayar tersebut
biasanya pada saudagar serta pedagang
Muslim dari India, dan Agama Islam menyebar dari dekat pantai, maka
diperkirakan bahwa dahulu sarung ditenun oleh
pria-pria
Muslim. Sementara dalam perkembangannya, di Indonesia sarung cukup berperan
dalam kehidupan setiap lapisan masyarakat tanpa memandang umur, jenis kelamin,
maupun status sosialnya. Sarung sering terlihat sebagai bawahan busana trad
isonal
pada beberapa daerah, juga sebagai tenunan yang bersifat sacral.
Dari
sudut fungsi dan pemakaiannya, Kuncaraningrat (1986) membagi kedalam empat
golongan, yaitu pakaian sematamata sebagai alat untuk menahan pengaruh dari
alam sekitar, lambang keunggulan dan gengsi, lambang yang dianggap suci, serta
sebagai perhiasan tubuh.Sementara dari segi sosial, secara umum sarung
digambarkan sebagai kepandaian menenun seorang wanita, berdasarkan dominannya
kaum wanita pada kegiatan pertenunan. Kemampuannya dalam menenun, diidentikkan
dengan kesabaran, ketekunan, dan keuletan. Bagi masyarakat yang masih memegang
teguh tradisi, hal ini merupakan sesuatu yang dapat dibanggakan.
Pada zaman modern ini pergeseran fungsi
sarung saat
ini tenunan tersebut hanya berfungsi sebagai bagian dari pakaian tradisional
masyarakat setempat yang banyak digunakan dalam acara-acara adat terutama
pernikahan.
Namun saat
ini masyarakat Kabupaten Wajo pun sudah banyak yang tidak menggunakan pakaian
tradisional mereka ketika menghadiri sebuah pernikahan. Sehingga dapat
dikatakan fungsi utama dari tenunan sutra tradisional di Kabupaten Wajo saat
ini lebih cenderung bersifat ekonomi. Karena tenunan gedogan ini sangat
membantu ekonomi perajinnya, sebab mayoritas mata pencaharian suami mereka
ialah bertani di sawah tadah hujan (agraris) sehingga ketika suami mereka
bertani kebutuhan sehari-hari ditutupi oleh hasil menenun istri/anakanak
wanitanya.
Ragam hias
sarung sutera
Pada
tenunan sutra tradisional Gedogan diKabupaten Wajo, ragam hias (atau dalam
bahasa
Bugis disebut balo) terbagi dua jenis. Yaitu ragam hias pada jalur benang pakan
yang disebut balo makkaluk yang berarti ragam hias melingkar, serta ragam hias
pada jalur benang lungsi disebut balo metettong yang berarti ragam hias
berdiri.
Menurut
Album Seni Budaya Sulawesi Selatan: Seri Tenun Budaya Bugis dan Tenun
Tradisional
Bugis Makassar, pada mulanya tenunan sutra tradisional Gedogan
diKabupaten Wajo hanya mengenal tiga ragam hias geometris,
yakni balo renni (kotak-kotak kecil),balo tengnga (kotak-kotak sedang), dan balo
lobang/lebbak(kotak-kotak besar). Ragam hias pada tenunan sutra tradisional
Gedogan khas Sulawesi Selatan umumnya memang berupa bidang kotak yang
berwarna-warni yang disebut tenun palekat, yakni salah satu dari ragam hias
kotak-kotak diatas maupun perpaduan dari ragam hias-ragam hias tersebut, yang
terbentuk dari jalinan benang lungsi dan benang pakan yang beraneka warna.
Seperti pada tenunan Mandar, ragam hias pada tenunan sutra tradisional Bugis di
Kabupaten Wajo juga terbagi atas bidang kepala (puncang) dan tubuh. Dalam
penggunaannya sehari-hari, bagian kepala selalu dibelakang. Kira-kira pada
tahun 1920 dikenal ragam hias beso, yakni ragam hias yang dihasilkan dari
teknik menarik benang tenun sehingga tergeser dari posisi jalur lurus. Dan pada
tahun 1950, ada perkembangan ragam hias yang disebut panji, yang merupakan
stilasi dari huruf S.
Tahun
1958, ragam hias beso dikembangkan menjadi bentuk lancip atas dasar garis
zigzag,
ragam hias ini disebut balo cobo(coboartinya lancip) atau ragam hias pucuk
rebung.
Dan selanjutnya lahir ragam hias jiki/subik(artinya mencukil) yang dihasilkan
dengan
teknik mencukil benang pada waktu ditenun. Di samping motif-motif tersebut,
ada pula
ragam hias cebang (artinya ditaburi), yang berukuran kecil-kecil dan diletakkan
di seluruh bidang tenunan dengan teratur.
Perkembangan
ragam hias ini tidak hanya pada bentuk namun juga pada penggunaan
warna yang
tidak lagi terbatas pada warna hitam, merah, dan putih saja, melainkan juga
warna-warna cerah seperti kuning, ungu, hijau, dan sebagainya. Tenunan sutra
tradisional Gedogan di Kabupaten Wajo memang khas dengan warna-warna cerah yang
manis dan kontras.
Pada
perkembangan ini, bentuk ragam hias pun sudah mulai dipadukan dengan lebih
berani
sesuai kreasi perajin. Pemaduan ini tidak dilakukan berdasarkan satu prinsip
tertentu,
dan diberi nama sesuai keinginan perajin. Contohnya ragam hias balo saputangan,
dimana ragam hias hanya terdapat di bagian
pucangnya
saja sementara bidang tenunan lainnya polos. Atau balo mapan giling
(artinya
pulang kembali), yang merupakan perpaduan dari balo panji ,jiki/subik dan
beso.
Sehingga, saat ini ragam hias tenunan sutra tradisional Gedogan jarang disebut
lagi dengan nama-nama ragam hias dasar, melainkan dengan nama-nama baru, yang
diambil
dari suatu peristiwa yang terjadi pada waktu menenun.
Beberapa
perajin yang ditemui di lapangan, bahkan memadupadankan beberapa agam
hias dasar
dan diberi nama sesuai kejadian-kejadian yang sedang diminati saat itu,
contohnya
ragam hias KDI, ragam hias AFI,ragam hias Soeharto, ragam hias Titik
Sandora,
dan lain sebagainya.
Filosophy sarung sutera
Filosofi
yang terkandung pada tenunan sutra tradisional Gedogan di Kabupaten Wajo tidak
terletak pada ragam hias melainkan pada warna, seperti berikut:
1.Bangsawan
menggunakan warna merah atau hijau.
2.Gadis
menggunakan warna-warna muda dan lembut seperti merah muda,
hijau
muda, dan lain-lain.
3.Janda
menggunakan warna-warna cerah seperti jingga.
4.Orang
tua, maupun wanita yang sudah berkeluarga, menggunakan warna-
warna
gelap seperti hitam, dan lain-lain.
Sabtu, 28 Februari 2015
Dalam Bingkai Estetika: Lingkup Kajian Estetika
Dalam Bingkai Estetika: Lingkup Kajian Estetika: a . Hubungan antara keindahan dan kebudayaan Mengacu dari pendapat Hope M. Smith (1968) bahwa “ In essence, aesthetics is philosophy o...
Dalam Bingkai Estetika: Lingkup Kajian Estetika
Dalam Bingkai Estetika: Lingkup Kajian Estetika: a . Hubungan antara keindahan dan kebudayaan Mengacu dari pendapat Hope M. Smith (1968) bahwa “ In essence, aesthetics is philosophy o...
Dalam Bingkai Estetika: Lingkup Kajian Estetika
Dalam Bingkai Estetika: Lingkup Kajian Estetika: a . Hubungan antara keindahan dan kebudayaan Mengacu dari pendapat Hope M. Smith (1968) bahwa “ In essence, aesthetics is philosophy o...
Langganan:
Postingan (Atom)