Rabu, 08 Maret 2017

art education: Seni Lukis Kaligrafi

art education: Seni Lukis Kaligrafi: Seni Lukis Kaligrafi   Kaligrafi merupakan salah satu jenis karya seni rupa yang menekankan keindahan yang terdapat pada bentuk-bentuk hur...

Seni Lukis Kaligrafi


Seni Lukis Kaligrafi 
Kaligrafi merupakan salah satu jenis karya seni rupa yang menekankan keindahan yang terdapat pada bentuk-bentuk huruf yang telah dimodifikasi atau digayakan sehingga mempunyai nilai estetika. Keindahan bentuk ini mempunyai pengertian yang umum, artinya bentuk huruf tersebut tidak hanya berlaku untuk huruf-huruf tertentu atau asal dari jenis huruf tertentu. Salah satu contoh, misalnya kaligrafi tidak hanya berlaku untuk bentuk atau jenis huruf Arab (Hijaiyyah) saja, tetapi dapat juga berlaku untuk jenis-jenis huruf yang lain. Sehingga kata kaligrafi berlaku untuk umum, keindahan hurufnya bersifat umum, universal dan global. Kaligrafi tidak hanya untuk mengungkapkan secara visual ayat atau surat-surat yang ada di Al Quran dan Al Hadits saja, tetapi juga bisa untuk mengungkapkan kalimat-kalimat sastra yang berbentuk huruf Latin, huruf China, huruf Jepang, huruf India, huruf Sansekerta maupun huruf Jawa. Pengertian masyarakat umum memang mempunyai pandangan dan pengertian yang kurang tepat, yang mengartikan bahwa kaligrafi adalah modifikasi keindahan pada bentuk-bentuk huruf Arab saja. Walaupun hal itu juga tidak dapat dipungkiri lagi karena yang berkembang pesat di wilayah kita (Indonesia) adalah banyaknya kreasi-kreasi kaligrafi yang ada merupakan bentuk keindahan huruf Arab. Hal ini memang sangat erat kaitannya dengan mayoritas seniman kaligrafi yang ada di Indonesia kebanyakan hanya mengembangkan kaligrafi Arabic. Memang tidak dapat dipungkiri seniman berkarya juga terikat dengan penikmat seni yang ada di suatu wilayah. Penikmat kaligrafi Indonesia karena kebanyakan kaum muslimin, senimanpun menciptakanya disesuaikan dengan keadaan tersebut. Kalau kita mau melihat lebih luas, sebenarnya banyak juga ditemukan keindahan bentuk huruf ini yang berbentuk huruf selain huruf Arab. Keindahan bentuk huruf Jawa, sebelum pada tahun 70 an masih sering ditemukan di wilayah Jawa. Di pedesaan banyak pula anak-anak muda dan orang dewasa berkarya memodifikasi/menggayakan huruf Jawa sedemikian indahnya pada era sebelum tahun 70 an. Contoh yang pernah penulis lihat adalah di daerah Kunden Langenharjo Kendal pada masa lalu, yang sekarang sudah mulai jarang ditemukan lagi atau mungkin malah sudah tak ada lagi karena generasi sekarang banyak yang tidak mengenal huruf Jawa. Tapi, Alhamdulillah pemerintah sekarang sudah mulai menyadari pentingnya bahasa daerah, dengan memasukkan pelajaran bahasa daerah dalam kurikulum di SD, SMP maupun SMA. Hal itu hanyalah salah satu contoh saja bahwa kaligrafi bukanlah khusus untuk huruf Arab. Dalam perkembangannya kaligrafi dapat dipisahkan menjadi beberapa jenis kaligrafi. Kaligrafi tersebut antara lain, Kaligrafi Tradisional, Kaligrafi Klasik, Kaligrafi Modern, Kaligrafi Ekspresif dan Kaligrafi Kontemporer. Semua jenis kaligrafi tersebut mempunyai kelebihan dan keunikan tersendiri tergantung dari jenisnya. Kekhasan yang sama pada seni kaligrafi adalah kreatifitas seniman di dalam memvisualisasikan bentuk karya ciptanya. Ada yang mempunyai kecenderungan kretifitas pada objek utamanya saja, ada pula hurufnya masih manual tetapi dipadukan latar belakangnya yang dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga kreatifitasnya lebih diutamakan pada backgroundnya, adapula yang keduanya dipadukan artinya baik huruf maupun latar belakangnya digayakan sedemikian rupa, sehingga daya cipta bentuk kaligrafi betul-betul dimaksimalkan. Semuanya memang tergantung dari pencipta karya tersebut, lebih fokus dan lebih enjoy yang mana atau lebih cocok yang mana. Atau mungkin tergantung yang diinginkan oleh nilai pasar (tergantung dari nilai fungsinya). Fungsi kaligrafi tersebut sebagai seni murni (fine art) atau seni terapan (applied art).

Kaligrafi merupakan salah satu jenis karya seni rupa yang menekankan keindahan yang terdapat pada bentuk-bentuk huruf yang telah dimodifikasi atau digayakan sehingga mempunyai nilai estetika. Keindahan bentuk ini mempunyai pengertian yang umum, artinya bentuk huruf tersebut tidak hanya berlaku untuk huruf-huruf tertentu atau asal dari jenis huruf tertentu. Salah satu contoh, misalnya kaligrafi tidak hanya berlaku untuk bentuk atau jenis huruf Arab (Hijaiyyah) saja, tetapi dapat juga berlaku untuk jenis-jenis huruf yang lain. Sehingga kata kaligrafi berlaku untuk umum, keindahan hurufnya bersifat umum, universal dan global. Kaligrafi tidak hanya untuk mengungkapkan secara visual ayat atau surat-surat yang ada di Al Quran dan Al Hadits saja, tetapi juga bisa untuk mengungkapkan kalimat-kalimat sastra yang berbentuk huruf Latin, huruf China, huruf Jepang, huruf India, huruf Sansekerta maupun huruf Jawa. Pengertian masyarakat umum memang mempunyai pandangan dan pengertian yang kurang tepat, yang mengartikan bahwa kaligrafi adalah modifikasi keindahan pada bentuk-bentuk huruf Arab saja. Walaupun hal itu juga tidak dapat dipungkiri lagi karena yang berkembang pesat di wilayah kita (Indonesia) adalah banyaknya kreasi-kreasi kaligrafi yang ada merupakan bentuk keindahan huruf Arab. Hal ini memang sangat erat kaitannya dengan mayoritas seniman kaligrafi yang ada di Indonesia kebanyakan hanya mengembangkan kaligrafi Arabic. Memang tidak dapat dipungkiri seniman berkarya juga terikat dengan penikmat seni yang ada di suatu wilayah. Penikmat kaligrafi Indonesia karena kebanyakan kaum muslimin, senimanpun menciptakanya disesuaikan dengan keadaan tersebut. Kalau kita mau melihat lebih luas, sebenarnya banyak juga ditemukan keindahan bentuk huruf ini yang berbentuk huruf selain huruf Arab. Keindahan bentuk huruf Jawa, sebelum pada tahun 70 an masih sering ditemukan di wilayah Jawa. Di pedesaan banyak pula anak-anak muda dan orang dewasa berkarya memodifikasi/menggayakan huruf Jawa sedemikian indahnya pada era sebelum tahun 70 an. Contoh yang pernah penulis lihat adalah di daerah Kunden Langenharjo Kendal pada masa lalu, yang sekarang sudah mulai jarang ditemukan lagi atau mungkin malah sudah tak ada lagi karena generasi sekarang banyak yang tidak mengenal huruf Jawa. Tapi, Alhamdulillah pemerintah sekarang sudah mulai menyadari pentingnya bahasa daerah, dengan memasukkan pelajaran bahasa daerah dalam kurikulum di SD, SMP maupun SMA. Hal itu hanyalah salah satu contoh saja bahwa kaligrafi bukanlah khusus untuk huruf Arab. Dalam perkembangannya kaligrafi dapat dipisahkan menjadi beberapa jenis kaligrafi. Kaligrafi tersebut antara lain, Kaligrafi Tradisional, Kaligrafi Klasik, Kaligrafi Modern, Kaligrafi Ekspresif dan Kaligrafi Kontemporer. Semua jenis kaligrafi tersebut mempunyai kelebihan dan keunikan tersendiri tergantung dari jenisnya. Kekhasan yang sama pada seni kaligrafi adalah kreatifitas seniman di dalam memvisualisasikan bentuk karya ciptanya. Ada yang mempunyai kecenderungan kretifitas pada objek utamanya saja, ada pula hurufnya masih manual tetapi dipadukan latar belakangnya yang dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga kreatifitasnya lebih diutamakan pada backgroundnya, adapula yang keduanya dipadukan artinya baik huruf maupun latar belakangnya digayakan sedemikian rupa, sehingga daya cipta bentuk kaligrafi betul-betul dimaksimalkan. Semuanya memang tergantung dari pencipta karya tersebut, lebih fokus dan lebih enjoy yang mana atau lebih cocok yang mana. Atau mungkin tergantung yang diinginkan oleh nilai pasar (tergantung dari nilai fungsinya). Fungsi kaligrafi tersebut sebagai seni murni (fine art) atau seni terapan (applied art).

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ

Rabu, 18 Maret 2015

kritik seni



Keindahan selalu berhubungan dengan seni tetapi seni tidak selalu hanya menampilkan tentang keindahan walaupun dalam prosesnya ada tahap-tahap yang bisa disebut sebuah keindahan. Seorang seniman kadang tidak bisa menyampaikan hasil karya yang indah tetapi dalam pembuatan karya seni selalu ada pesan yang ingin dia sampaikan dan dalam proses pembuatan karya seninya mungkin dia sudah melewati pengalaman keindahan. Sebagai contoh dia membuat karya seni dengan pesan “betapa sedihnya perpisahan karena kematian”. Di sini kita sepakat bahwa perpisahan karena kematian bukanlah sesuatu yang indah, tetapi dengan tehnik dan kemampuan pengelolaan pengalaman hidupnya maka dia bisa membuat atau menyampaikan pesan itu menjadi sesuatu yang indah karena dia mampu mengelola pengalaman yang sudah dia lalui. Jadi intinya dalam seni harus ada suatu keindahan meskipun tidak semua keindahan bisa dikatakan seni.

1. Tanpa mengesampingkan teori seni yang lain karena menurut penulis teori-teori seni saling melengkapai tetapi teori seni yang paling memuaskan adalah “teori pengungkapan”.

Benedetto Groce dengan teorinya yang mengatakan bahwa Seni adalah pengungkapan dari kesan-kesan. Ekspresi sama dengan intuisi, dan intuisi menghasilkan imaji-imaji dari realitas. Karena mengungkapan sama dengan memiliki imaji, maka intuisi menjadi suatu unitas yang tanpa membedakan antara persepsi dari realitas dan persepsi dari image.

Dari teori ini pertama sudah menjelaskan bahwa sebelum terjadi proses penciptaan karya seni maka harus didahului dulu dengan adanya tahap pengalaman keindahan. Tanpa tahap ini tidak akan ada kesan-kesan yang nanti dalam proses selanjutnya harus diungkapkan dengan baik. Proses pengungkapan ini terkadang mengesampingkan pengtahuan konseptual tetapi cenderung dipengaruhi pengetahuan imajinasi/intuitif. Sehingga dengan kata seni lebih besar dipengaruhi oleh kejiwaan manusia.

Teori kedua dari Leo Tolstoy yang mengatakan seni adalah kegiatan manusia yang sadar dengan perantara dengan perantara tanda-tanda lahiriah tertentu mengungkakan perasaan-perasaan yang telah dihayatinya kepada orang lain agar terjangkit perasaan-perasaaan itu dan juga mengalaminya.

Di sini jelas diungkapkan bahwa kegiatan manusia harus dilakukan secara sadar karena tidak mungkin seseorang yang tidak mampu menguasai dengan baik kesadarannya bisa mengelola pengalaman keindahannya menjadi suatu ungkapan seni. Dengan kesadaran yang baik pula seseorang bisa menemukan/memutuskan tanda-tanda seperti apa yang harus dipakai untuk mengungkapakan pengalaman yang telah dihayatinya agar orang lain bisa mendapatkan pengalaman keindahan yang sama ketika menikmati tanda-tanda tersebut.
Dari kedua filsuf ini yang semua teorinya mengacu pada pengungkapan sudah bisa memenuhi kaidah-kaidah yang ada dalam seni meskipun perlu digaris bawahi bahwa tidak semua hasil pengungkapan adalah seni. Selain itu teori ini bisa mengakomodir kaidah-kaidah seni dibandingkan dengan teori yang lain, bahkan teori ini bisa mencakup juga perspektif bahwa seni adalah mimesis (Plato).

Sabtu, 14 Maret 2015

sarung sutera (Lipa Sabbe) Kota Sengkang Kab. Wajo



Sengkang yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Wajo letaknya kurang lebih 250 km dari Makassar Ibukota Provinsi SUlawesi Selatan sejak dulu dikenal sebagai kota niaga karena masyarakatnya yang sangat piawai dalam berdagang. Berbagai macam kebutuhan hidup seperti pakaian, sepatu, tas, barang elektronik, kain dan kain sarung bahkan kebutuhan pokok lainnya konon memiliki harga yang relatif murah jika dibandingkan di daerah lainnya. Sehingga tidak mengherankan jika Sengkang menjadi salah satu kota dengan perputaran ekonomi yang sangat tinggi di Sulawesi Selatan.
Disamping dikenal sebagai kota niaga, Sarung Sutera menjadikan ibukota Kabupaten Wajo semakin akrab ditelinga dan hati orang-orang yang pernah berkunjung ke kota ini, kelembutan dan kehalusan tenunan sarung sutera Sengkang sudah sedemikian dikenal bahkan hingga kemancanegara.
Menengok ke masa yang lalu, aktivitas masyarakat Wajo dalam mengelola persuteraan sudah dilakukan secara turun temurun baik diusahakan sebagai kegiatan sampingan maupun dikelola dalam skala industri rumah tangga bahkan sampai industri menegah.
Hampir disetiap kecamatan di daerah ini ditemukan kegiatan persuteraan dimulai dari kegiatan proses hulu sampai ke hilir, kegiatan pemeliharaan ulat sutera hingga proses pemintalah menjadi benang yang kemudian ditenun menjadi selembar kain sutera.
Dalam bahasa lokal (Bugis) sutera disebut dengan "Sabbe", dimana dalam proses pembuatan benang sutera menjadi kain sarung sutera masyarakat pada umumnya masih menggunakan peralatan tenun tradisional yaitu alat tenun gedogan dengan berbagai macam motif yang diproduksi seperti motif "Balo Tettong" (bergaris atau tegak), motif ("Makkalu" (melingkar), motif "mallobang" (berkotak kosong), motif "Balo Renni" (berkotak kecil). Selain itu ada juga diproduksi dengan mengkombinasikan atau menyisipkan "Wennang Sau" (lusi) timbul serta motif "Bali Are" dengan sisipan benang tambahan yang mirip dengan kain Damas.
Melihat Potensi perkembangan sutera di Wajo, pada tahun 1965 seorang tokoh perempuan yang juga seorang bangsawan "Ranreng Tua" Wajo yaitu Datu Hj. Muddariyah Petta Balla'sari memprakarsai dan memperkenalkan alat tenun baru dari Thailand yang mampu memproduksi sutera asli (semacam Thai SIlk) dalam skala besar.
Beliau juga mendatangkan seorang ahli pertenunan dari Thailand untuk mengajarkan penggunaan alat tenun tersebut kepada masyarakat setempat sekaligus menularkan berbagai ilmu pertenunan sehingga mampu menghasilkan produksi sutera yang berkualitas tinggi. Berawal dari prakarsa inilah sehingga memacu ketekunan dan membuka wawasan kreativitas masyarakat dan pengrajin yang lain untuk mengembangkan kegiatan persuteraan di Kabupaten Wajo.
Secara etimologi, ’sarung’ dalam kata benda dapat berarti bungkus. Sedangkan ’menyarung’ dan dalam kata sifat dapat be
rarti cara membungkus. Kata ’sarung’ ini  berasal dari bahasa Melayu , sarong, berarti kain tenun yang cara pakainya dililitkan di pinggang. Meskipun begitu, pada dasarnya
pengertian sarung dapat dibedakan dengan kain panjang. Sebab sarung adal
ah tenunan panjang yang kedua sisi kiri dan kanannya disatukan sehingga terbentuk lubang pada bagian atas dan bawah. Maka secara garis besar, sarung sutra (atau dalam bahasa Bugis disebut lippa sabbe’) ialah tenunan sutra yang kedua sisinya disatukan sehingga membentuk tabung.Karakteristik sarung terletak pada corak dan ukurannya, yakni lebar berkisar 100 sentimeter dengan panjang berkisar 220 sentimeter.

Fungsi sarung sutera
Dahulu, sarung dipakai oleh orang-orang yang berlayar di sekitar Semenanjung Malaka, dekat pulau Sumatra dan Jawa. Mengingat orang-orang yang berlayar tersebut biasanya  pada saudagar serta pedagang Muslim dari India, dan Agama Islam menyebar dari dekat pantai, maka diperkirakan bahwa dahulu sarung ditenun oleh
pria-pria Muslim. Sementara dalam perkembangannya, di Indonesia sarung cukup berperan dalam kehidupan setiap lapisan masyarakat tanpa memandang umur, jenis kelamin, maupun status sosialnya. Sarung sering terlihat sebagai bawahan busana trad
isonal pada beberapa daerah, juga sebagai tenunan yang bersifat sacral.
Dari sudut fungsi dan pemakaiannya, Kuncaraningrat (1986) membagi kedalam empat golongan, yaitu pakaian sematamata sebagai alat untuk menahan pengaruh dari alam sekitar, lambang keunggulan dan gengsi, lambang yang dianggap suci, serta sebagai perhiasan tubuh.Sementara dari segi sosial, secara umum sarung digambarkan sebagai kepandaian menenun seorang wanita, berdasarkan dominannya kaum wanita pada kegiatan pertenunan. Kemampuannya dalam menenun, diidentikkan dengan kesabaran, ketekunan, dan keuletan. Bagi masyarakat yang masih memegang teguh tradisi, hal ini merupakan sesuatu yang dapat dibanggakan.

Pada zaman modern ini pergeseran fungsi sarung saat ini tenunan tersebut hanya berfungsi sebagai bagian dari pakaian tradisional masyarakat setempat yang banyak digunakan dalam acara-acara adat terutama pernikahan.
Namun saat ini masyarakat Kabupaten Wajo pun sudah banyak yang tidak menggunakan pakaian tradisional mereka ketika menghadiri sebuah pernikahan. Sehingga dapat dikatakan fungsi utama dari tenunan sutra tradisional di Kabupaten Wajo saat ini lebih cenderung bersifat ekonomi. Karena tenunan gedogan ini sangat membantu ekonomi perajinnya, sebab mayoritas mata pencaharian suami mereka ialah bertani di sawah tadah hujan (agraris) sehingga ketika suami mereka bertani kebutuhan sehari-hari ditutupi oleh hasil menenun istri/anakanak wanitanya.

Ragam hias sarung sutera
Pada tenunan sutra tradisional Gedogan diKabupaten Wajo, ragam hias (atau dalam
bahasa Bugis disebut balo) terbagi dua jenis. Yaitu ragam hias pada jalur benang pakan yang disebut balo makkaluk yang berarti ragam hias melingkar, serta ragam hias pada jalur benang lungsi disebut balo metettong yang berarti ragam hias berdiri.
Menurut Album Seni Budaya Sulawesi Selatan: Seri Tenun Budaya Bugis dan Tenun
Tradisional Bugis Makassar, pada mulanya tenunan sutra tradisional Gedogan
diKabupaten Wajo hanya mengenal tiga ragam hias geometris, yakni balo renni (kotak-kotak kecil),balo tengnga (kotak-kotak sedang), dan balo lobang/lebbak(kotak-kotak besar). Ragam hias pada tenunan sutra tradisional Gedogan khas Sulawesi Selatan umumnya memang berupa bidang kotak yang berwarna-warni yang disebut tenun palekat, yakni salah satu dari ragam hias kotak-kotak diatas maupun perpaduan dari ragam hias-ragam hias tersebut, yang terbentuk dari jalinan benang lungsi dan benang pakan yang beraneka warna. Seperti pada tenunan Mandar, ragam hias pada tenunan sutra tradisional Bugis di Kabupaten Wajo juga terbagi atas bidang kepala (puncang) dan tubuh. Dalam penggunaannya sehari-hari, bagian kepala selalu dibelakang. Kira-kira pada tahun 1920 dikenal ragam hias beso, yakni ragam hias yang dihasilkan dari teknik menarik benang tenun sehingga tergeser dari posisi jalur lurus. Dan pada tahun 1950, ada perkembangan ragam hias yang disebut panji, yang merupakan stilasi dari huruf S.
Tahun 1958, ragam hias beso dikembangkan menjadi bentuk lancip atas dasar garis
zigzag, ragam hias ini disebut balo cobo(coboartinya lancip) atau ragam hias pucuk
rebung. Dan selanjutnya lahir ragam hias jiki/subik(artinya mencukil) yang dihasilkan
dengan teknik mencukil benang pada waktu ditenun. Di samping motif-motif tersebut,
ada pula ragam hias cebang (artinya ditaburi), yang berukuran kecil-kecil dan diletakkan di seluruh bidang tenunan dengan teratur.
Perkembangan ragam hias ini tidak hanya pada bentuk namun juga pada penggunaan
warna yang tidak lagi terbatas pada warna hitam, merah, dan putih saja, melainkan juga warna-warna cerah seperti kuning, ungu, hijau, dan sebagainya. Tenunan sutra tradisional Gedogan di Kabupaten Wajo memang khas dengan warna-warna cerah yang manis dan kontras.
Pada perkembangan ini, bentuk ragam hias pun sudah mulai dipadukan dengan lebih
berani sesuai kreasi perajin. Pemaduan ini tidak dilakukan berdasarkan satu prinsip
tertentu, dan diberi nama sesuai keinginan perajin. Contohnya ragam hias balo saputangan, dimana ragam hias hanya terdapat di bagian
pucangnya saja sementara bidang tenunan lainnya polos. Atau balo mapan giling
(artinya pulang kembali), yang merupakan perpaduan dari balo panji ,jiki/subik dan
beso. Sehingga, saat ini ragam hias tenunan sutra tradisional Gedogan jarang disebut lagi dengan nama-nama ragam hias dasar, melainkan dengan nama-nama baru, yang
diambil dari suatu peristiwa yang terjadi pada waktu menenun.
Beberapa perajin yang ditemui di lapangan, bahkan memadupadankan beberapa agam
hias dasar dan diberi nama sesuai kejadian-kejadian yang sedang diminati saat itu,
contohnya ragam hias KDI, ragam hias AFI,ragam hias Soeharto, ragam hias Titik
Sandora, dan lain sebagainya. 
 Filosophy sarung sutera
Filosofi yang terkandung pada tenunan sutra tradisional Gedogan di Kabupaten Wajo tidak terletak pada ragam hias melainkan pada warna, seperti berikut:
1.Bangsawan menggunakan warna merah atau hijau.
2.Gadis menggunakan warna-warna muda dan lembut seperti merah muda,
hijau muda, dan lain-lain.
3.Janda menggunakan warna-warna cerah seperti jingga.
4.Orang tua, maupun wanita yang sudah berkeluarga, menggunakan warna-
warna gelap seperti hitam, dan lain-lain.

Sabtu, 28 Februari 2015

Dalam Bingkai Estetika: Lingkup Kajian Estetika

Dalam Bingkai Estetika: Lingkup Kajian Estetika: a . Hubungan antara keindahan dan kebudayaan Mengacu dari pendapat Hope M. Smith (1968) bahwa “ In essence, aesthetics is philosophy o...

Dalam Bingkai Estetika: Lingkup Kajian Estetika

Dalam Bingkai Estetika: Lingkup Kajian Estetika: a . Hubungan antara keindahan dan kebudayaan Mengacu dari pendapat Hope M. Smith (1968) bahwa “ In essence, aesthetics is philosophy o...

Dalam Bingkai Estetika: Lingkup Kajian Estetika

Dalam Bingkai Estetika: Lingkup Kajian Estetika: a . Hubungan antara keindahan dan kebudayaan Mengacu dari pendapat Hope M. Smith (1968) bahwa “ In essence, aesthetics is philosophy o...